SUARA RAKYAT, JANGAN DIBELI? - Penulisan ulang sejarah Indonesia tengah digarap serius oleh Kementerian Kebudayaan, dan rencananya bakal jadi karya kolosal 12 jilid dari zaman prasejarah sampai era Presiden Jokowi. Tapi, langkah ini nggak luput dari sorotan tajam, terutama dari aktivis 98, Masinton Pasaribu.
Dalam acara Sarasehan Aktivis Lintas Generasi bertema "Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi" yang digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu (21/5/2025), Masinton angkat suara dengan nada tegas dan penuh semangat nasionalis.
"Penulisan ulang ini harus jadi momen pelurusan sejarah, bukan penghapusan. Satu kata pun nggak boleh dihilangkan," tegas Masinton yang kini menjabat sebagai Bupati Tapanuli Tengah.
Jangan Cuma Narasi, Tapi Harus Ada Kejujuran Sejarah
Masinton menyayangkan kabar bahwa dalam draft buku sejarah yang tengah disusun, ada peristiwa penting yang tidak dicantumkan, seperti Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, hingga peristiwa 27 Juli 1996. Padahal, menurutnya, momen-momen itu adalah bagian dari detak jantung perjuangan reformasi.
"Kalau dihilangkan, itu bukan cuma membodohi generasi masa depan, tapi juga mengkhianati darah dan keringat perjuangan demokrasi bangsa ini," ujarnya mantap.
Versi Baru Sejarah: Masih Proses, Belum Final
Kementerian Kebudayaan sendiri menyampaikan bahwa penulisan ulang ini bertujuan untuk menyesuaikan sejarah dengan temuan-temuan baru, seperti hasil disertasi, tesis, dan penelitian dari para akademisi. Nantinya, 12 jilid buku ini akan diterbitkan resmi, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
“Prosesnya masih berjalan. Yang menulis adalah para sejarawan dari kampus-kampus ternama. Targetnya launching pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan 80 tahun Indonesia merdeka,” ujar Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Kompleks Istana, beberapa waktu lalu.
SuaraRakyat Insight:
Penulisan ulang sejarah itu sah-sah saja, apalagi kalau tujuannya untuk memperkaya perspektif. Tapi, jangan sampai jadi revisi yang mengebiri kenyataan. Bangsa besar adalah bangsa yang berani jujur tentang masa lalunya, walau itu pahit. Generasi muda butuh tahu bahwa demokrasi hari ini ditebus dengan perjuangan nyata dan air mata para pendahulu.
Kesimpulan SuaraRakyat:
Penulisan ulang sejarah harus jadi ruang pelurusan, bukan penghapusan. Suara-suara dari masa lalu, seperti aktivis 98, harus tetap hidup dalam catatan sejarah. Jangan biarkan reformasi hanya jadi catatan kaki. Jadikan sejarah sebagai cermin bangsa, bukan etalase yang disulap.
.png)

Komentar0