SUARA RAKYAT, JANGAN DIBELI? - Di balik cahaya mencolok tubuh yang dilapisi cat perak, tersimpan kisah hidup yang tak kalah menggugah. Mereka dikenal sebagai "manusia silver", sosok-sosok yang sering terlihat berdiri kaku di sudut lampu merah, mematung seakan tak bernyawa, namun sesungguhnya tengah berjuang keras agar bisa menyambung hidup.
Adalah Ari (28 tahun)—bukan nama sebenarnya—seorang manusia silver asal Bekasi yang telah dua tahun mengandalkan seni tubuh perak ini demi menghidupi istri dan satu anak balitanya. Ari bercerita bahwa menjadi manusia silver bukanlah pilihan yang ia idamkan, tapi itulah jalan yang tersisa ketika pandemi COVID-19 memaksanya kehilangan pekerjaan sebagai teknisi sound system.
Pagi Dimulai dengan Kaleng dan Cat Perak
Setiap pagi, Ari memulai harinya pukul 04.30 WIB. Ia menyiapkan perlengkapan seadanya—cat silver murah meriah, pakaian lama, dan satu kaleng kecil untuk menampung recehan. Ia tahu bahwa cat tersebut bisa membahayakan kulit, bahkan kesehatan paru-parunya. Tapi apa daya? "Kalau nggak kerja, nggak makan," ucapnya singkat.
Bertahan di Terik Matahari dan Pandangan Sinis
Ari berdiri tegak di simpang lima kawasan Kalimalang. Tanpa suara, tanpa gerakan. Hanya sesekali ia menunduk pelan sebagai bentuk penghormatan kepada pengendara yang melemparkan seribu atau dua ribu rupiah ke dalam kalengnya.
“Kadang ada yang senyum, kadang ada juga yang hina. Dibilang pengemis gaya baru. Tapi saya tahanin semua itu. Saya kerja, bukan minta,” katanya.
Teror Satpol PP dan Harapan yang Tak Pernah Padam
Bukan sekali dua kali Ari harus lari dari kejaran Satpol PP. Ia tahu bahwa keberadaannya dianggap "mengganggu estetika kota". Namun baginya, yang penting tidak mencuri, tidak merampok.
“Saya siap dibina, asal diberi solusi. Saya nggak mau selamanya jadi manusia silver,” tuturnya lirih.
Ari pernah bermimpi punya kios kecil menjual gorengan. Tapi tabungannya selalu habis untuk kebutuhan makan, kontrakan, dan susu anak.
Kebaikan Tak Pernah Mati
Suatu hari, seorang pengendara turun dari mobil, menghampirinya, dan memberikan sepasang sepatu bekas dan nasi bungkus.
“Mas, semangat ya. Saya dulu juga pernah susah,” katanya sambil menepuk bahu Ari.
Itu hari yang tak akan pernah dilupakan Ari. Baginya, ucapan semangat itu seperti oase di tengah gurun.
Pesan Positif dari Tubuh Penuh Cat
Menjadi manusia silver membuat Ari memahami satu hal: harga diri bukan diukur dari pekerjaan, tapi dari niat untuk hidup jujur. Ia berharap, lewat keberadaannya di jalan, orang-orang sadar bahwa masih banyak rakyat kecil yang butuh uluran tangan—bukan belas kasihan, tapi kesempatan untuk bangkit.
Harapan Ari dan Ribuan Manusia Silver Lainnya
Ari bukan satu-satunya. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, manusia silver tumbuh menjadi simbol kegigihan rakyat kecil. Mereka bukan hanya hiasan kota, tapi cermin dari realita sosial: kemiskinan, keterbatasan, dan keteguhan hati.
Ari berharap suatu hari pemerintah benar-benar memberi ruang pelatihan, bantuan usaha, atau bahkan hanya sekadar tempat mengadu.
“Kalau dikasih pilihan, saya lebih milih dagang atau kerja tetap. Tapi sekarang, ini yang bisa saya lakukan.”
Penutup: Di Balik Kilau, Ada Luka dan Harapan
Cerita Ari hanyalah satu dari ribuan manusia silver yang tengah berjuang di balik cat perak mereka. Mereka berdiri bukan untuk menarik perhatian, tapi untuk bertahan. Mari kita lihat mereka dengan lebih manusiawi. Bukan sebagai pengganggu jalanan, tapi sebagai sesama anak bangsa yang tengah bertarung dengan hidup.
.png)

Komentar0