SUARA RAKYAT, JANGAN DIBELI? - Tepat 27 tahun pascareformasi, seharusnya jadi momen refleksi dan selebrasi atas kebebasan dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Tapi sayangnya, menurut Amnesty International Indonesia, ada “peringatan keras” yang harus kita catat: hak asasi manusia (HAM) disebut makin tergerus!
HAM Mulai Terlupakan, Demokrasi Kian Meredup?
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyebut bahwa berbagai pelanggaran HAM masa lalu seperti tak kunjung tuntas, bahkan kini terulang dalam wajah baru lewat kebijakan dan praktik otoriter yang makin kuat.
“Kalau hukum dan kebebasan makin dipelintir demi segelintir elite, saatnya negara dan masyarakat sipil bersatu kembali jaga amanat reformasi,” kata Usman dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).
Fakta-Fakta yang Bikin Mikir!
- Indeks Demokrasi Indonesia menurun tajam, dari angka 62 (2019) jadi 57 (2024), menurut Freedom House.
- Di World Press Freedom Index 2025, posisi Indonesia jeblok ke peringkat 127 dari 180 negara.
- Laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pun masih menilai demokrasi kita sebagai “demokrasi cacat”.
- Bahkan menurut V-Dem Institute, Indonesia kini tergelincir jadi “elektoral otokrasi”.
Pelanggaran Lama Belum Usai, Yang Baru Bermunculan
Usman juga menyinggung pelanggaran HAM berat seperti Tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Trisakti, hingga kekerasan Mei 1998 yang belum sepenuhnya diselesaikan lewat jalur hukum.
“Alih-alih menyelesaikan masa lalu, kini malah muncul upaya penulisan ulang sejarah yang bisa menghapus ingatan kolektif,” tegasnya.
Kasus-Kasus Kontemporer: Meme Bisa Masuk Bui?
Dari sisi kebebasan berekspresi, Amnesty mencatat 530 kasus kriminalisasi dengan UU ITE dari 2019–2024. Bahkan baru-baru ini, mahasiswi seni rupa ITB ditangkap gara-gara bikin meme Presiden. Ancaman hukumannya? Gak main-main: 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar.
Seni dan budaya pun kena getahnya. Pelukis Yos Soeprapto sempat dibatasi, teater “Wawancara dengan Mulyono” di Bandung ditolak, dan band Sukatani dari Purbalingga sempat dibungkam. Padahal, ekspresi seni adalah bagian dari suara rakyat juga, bukan?
Hukum Baru, Ancaman Baru?
Usman juga soroti KUHP baru dan rencana revisi KUHAP serta UU Polri, yang menurutnya masih membuka celah pembungkaman kritik. Beberapa pasal seperti anti makar, penghinaan pejabat, hingga penodaan agama bisa disalahgunakan untuk membatasi kebebasan bersuara.
“Kalau hukum cuma jadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan, ini bukan reformasi. Ini mundur perlahan,” kata Usman yang juga mantan Ketua Senat Mahasiswa Trisakti.
Catatan Redaksi:
Refleksi 27 tahun reformasi ini jadi panggilan buat kita semua – rakyat, pemerintah, dan media – untuk tetap awas, tetap bersuara, dan terus jaga semangat reformasi agar gak sekadar jadi catatan sejarah.
.png)

Komentar0